JAKARTA – Dalam rangka mendukung keberlanjutan pembangunan nasional, pemerintah resmi mengumumkan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Penyesuaian ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dasar Hukum dan Latar Belakang Kebijakan
Kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap, dimulai dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022, dan kini menuju 12% pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembangunan di berbagai sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat kurang mampu.
Menurut pemerintah, kenaikan PPN sebesar 1% ini hanya akan memberikan dampak kecil terhadap inflasi, yang diperkirakan meningkat sebesar 0,2%. Dengan tingkat inflasi yang terkendali di kisaran 1,5%-3,5%, daya beli masyarakat diharapkan tetap terjaga.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan dari masyarakat terkait implementasi tarif baru ini, pemerintah menjelaskan sejumlah poin penting:
1. Tidak Ada Objek Pajak Baru
Penyesuaian tarif PPN ini tidak menciptakan objek pajak baru. Contoh transaksi yang sudah dikenakan PPN sejak lama adalah:
- Top-up uang elektronik dan dompet digital:PPN hanya dikenakan atas biaya layanan, bukan nilai transaksi.
- Langganan platform digital (seperti Netflix dan Spotify): Tetap dikenakan PPN sesuai aturan lama.
- Jasa sistem pembayaran QRIS: PPN dikenakan pada Merchant Discount Rate (MDR) yang dibebankan kepada pemilik merchant.
2. Ilustrasi Penghitungan PPN
- Top-up Dompet Digital:
Biaya layanan Rp1.500 dikenakan PPN sebesar Rp165 (11%) atau Rp180 (12%). Tambahan kenaikan hanya Rp15.
- Pembelian Barang:
Barang seharga Rp5.000.000 dikenakan PPN Rp550.000 (11%) atau Rp600.000 (12%). Tambahan kenaikan sebesar Rp50.000.
3. Transaksi Tertentu yang Bebas PPN
Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan tetap bebas PPN hingga diterbitkannya peraturan lebih lanjut terkait barang atau jasa premium.
Paket Insentif Ekonomi untuk Masyarakat dan Dunia Usaha
Untuk memastikan penyesuaian tarif ini tidak membebani masyarakat, pemerintah telah menyiapkan paket insentif ekonomi dengan total anggaran sebesar Rp1.549,5 triliun (51,56% dari penerimaan APBN 2025). Paket ini mencakup:
1. Dukungan untuk Rumah Tangga:
- Bantuan pangan berupa beras 10 kg per bulan untuk 16 juta keluarga penerima manfaat selama Januari dan Februari 2025.
- Diskon 50% untuk tagihan listrik pelanggan dengan daya 2.200 VA atau lebih rendah selama dua bulan pertama 2025.
- PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) 1% untuk bahan pokok tertentu, seperti tepung terigu, gula industri, dan minyak Kita selama setahun.
2. Dukungan untuk Pekerja:
- Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pekerja sektor padat karya dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan.
- Bantuan 50% untuk jaminan kecelakaan kerja bagi pekerja sektor padat karya selama enam bulan.
3. Stimulus untuk UMKM:
- Perpanjangan tarif PPh Final 0,5% selama setahun bagi WP UMKM yang telah menggunakan fasilitas ini selama tujuh tahun.
- Pembebasan PPh bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun.
4. Stimulus untuk Sektor Industri dan Otomotif:
- Insentif PPN DTP sebesar 10% untuk kendaraan listrik berbasis baterai.
- Diskon PPnBM 15% untuk kendaraan listrik impor, serta insentif 3% untuk kendaraan hybrid.
5. Stimulus untuk Sektor Perumahan:
- Diskon 100% PPN untuk pembelian rumah hingga Rp2 miliar pertama selama Januari–Juni 2025, dan diskon 50% pada Juli–Desember 2025.
Manfaat untuk Pembangunan Nasional
Berdasarkan perhitungan pemerintah, penyesuaian tarif PPN ini berpotensi meningkatkan penerimaan negara hingga Rp75,29 triliun. Dana ini akan digunakan untuk membiayai program-program prioritas seperti:
- **Pendidikan:** Rp722,6 triliun untuk program KIP Kuliah, BOS, dan beasiswa LPDP.
- **Kesehatan:** Rp197,8 triliun untuk program JKN, pengentasan stunting, dan penurunan kasus TBC.
- **Perlindungan sosial:** Rp504,7 triliun untuk PKH, kartu sembako, dan bantuan langsung tunai.
Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini telah dirancang dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat, inflasi, dan kebutuhan pembangunan. Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan pendidikan tetap bebas PPN hingga ada peraturan lebih lanjut.
Penyesuaian ini diharapkan dapat mendukung keberlanjutan pembangunan nasional, menjaga stabilitas ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.